Beranda | Artikel
Petikan Khayalan Kaum Sufi
Minggu, 5 September 2021

Para pengikut aliran tasawuf (Sufi) dan yang sehaluan dengannya telah memainkan peran, yang secara destruktif berhasil memporakporandakan ‘aqidah Islam yang murni. Pernyataan ini bukan bualan tanpa bukti, tetapi berdasarkan fakta. Pengikisan ‘aqidah dapat ditelusuri melalui pemalsuan, kedustaan, dan kebohongan yang diusung kaum Sufi dalam bentuk khurafat (takhayul) dan khaza’balat (hikayat-hikayat palsu).

Kebanyakan manusia dibuat terkesima dengan hikayat yang menceritakan kemampuan “linuwih” seorang penganut Sufi. Yang sering mereka sebut sebagai aqthab atau aulia, hingga mampu melakukan apa saja tanpa campur tangan Allah Ta’ala. Misalnya anggapan terhadap seorang “wali” yang memiliki kemampuan mengerjakan shalat lima waktu di Mekah, mampu berbincang-bincang dengan Rasulullah dalam keadaan terjaga, dan memiliki “keajaiban-keajaiban” lainnya sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab rujukan tasawuf.

Bahkan di antara mereka ada yang mengklaim diri telah menerima perintah atau kebijakan baru berkaitan dengan Islam. Padahal agama Islam ini telah sempurna, sebagaimana Allah l telah menyebutkan dalam firman-Nya surat al-Mai-dah ayat 3, yang artinya: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.

Rasulullah juga telah bersabda, yang artinya: “Demi Allah, aku tinggalkan kalian di atas jalan yang putih, malamnya bagai siang hari”.

Tentu saja, pihak yang sangat senang dengan sepak terjang kaum tasawuf ini adalah para misionaris dan kaum orientalis serta para musuh Islam. Mengapa? Pasalnya, karena melalui hikayat-hikayat produk kaum Sufi yang mengada-ada lagi berlawanan dengan akal sehat, para musuh Islam melihat adanya peluang untuk menjauhkan umat Islam dari risalah Rasulullah Muhammad yang suci. Gambaran Islam pun semakin buram dengannya.

Berikut kami tampilkan sejumlah hikayat, yang membuat kita merasa heran, sekaligus menumbuhkan keprihatinan terhadap orang-orang yang telah keliru tersebut. Nukilan ini kami angkat dari kitab ‘Asyratu Mawâqif Mudh-hikah Ma’ash-Shûfiyyah, karya Dr. Ahmad bin Abdil-’Aziz al- Hushain, Maktabah al-Imân, Cetakan I, 1426 H – 2005 M. Silahkan menyimak. (Redaksi).

Kaum Sufi Memiliki Anggapan Bahwa Manusia Bisa Bertemu atau Bersama Nabi Dalam Keadaan Terjaga.

Anggapan seperti ini, di antaranya disebutkan bahwa seseorang yang bernama Muhammad bin al-’Arabi at-Tâzi (meninggal 1214 H), konon telah menghafal sejumlah bait yang diterima dari Nabi melalui mimpinya. Kemudian ia berjumpa dengan Nabi saat terjaga, dan ia lantas memanfaatkan kesempatan tersebut untuk bertanya tentang syarah (penjelasan) bait-bait yang telah ia hafalkan. Konon menurut kisah tersebut, Rasulullah pun memberikan penjelasan. Setelah itu Nabi berkata: “Seandainya bukan karena kecintaanmu kepada at-Tijâni, maka engkau sama sekali tidak akan melihatku”?!. 1

Keyakinan Bahwa Nabi Menghadiri Majlis-Majlis Pertemuan.

Disebutkan, ada seseorang yang dikenal sebagai “wali”. Dia menghadiri majlis seorang ‘alim yang meriwayatkan sebuah hadits. Ketika mendengar sebuah hadits yang disampaikan orang ‘alim tersebut, kontan sang “wali” berkata kepadanya: “Hadits itu bathil”.

Karena komentar tersebut, maka ahli fiqih tersebut bertanya: “Dari mana engkau tahu?”

Sang “wali” ini menjawab,”Itu, Nabi ada di atas kepalamu sembari berkata,’Aku tidak pernah mengatakan hadits tersebut’.” 2

Syaikh Bin Bâz t menyebutkan bahwa kisah dan keyakinan kehadiran Nabi dalam kehidupan nyata sebagai kesalahan yang paling parah dan telah menyelisihi al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma’ para ulama. Sebab, Allah k mengabarkan kalau orang-orang yang telah meninggal hanya akan keluar dari kubur mereka pada hari Kiamat, bukan di dunia ini. Allah k berfirman, yang artinya:

Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamusekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat (QS/23 Al Mukminun 15-16).

Siapapun yang menyalahinya, berarti ia seorang pendusta dengan kebohongan yang nyata.3

Membual dengan Karomah.

Menjajakan peristiwa-peristiwa karomah merupakan sarana yang penting untuk menarik banyak manusia sehingga membuat mereka takjub, dan kemudian tertarik dengan tasawuf. Unjuk karomah ini dapat dicontohkan, seperti kemampuan terbang di langit, berjalan di atas air, menghidupkan orang mati, menempuh perjalanan jauh dalam kedipan mata, dan lainnya. Padahal semua itu tidak lain kecuali khurafat belaka.

Satu contoh, asy-Sya’rani menyebutkan dalam kitab at[1]Thabaqât bahwa ada seekor keledai yang dikenal memiliki barakah. Konon keberkahan yang terdapat pada keledai ini, yaitu tidak ada seorang pezina pun yang menaiki keledai itu, kecuali ia akan bertaubat dan tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

Kelewat Batas Dalam Hal Khurafat.

Diceritakan, bahwa murid Syaikh Husain Abu ‘Ali yang bernama ‘Ubaid, yang disebut-sebut sebagai wali, ia pernah diolok-olok oleh sekawanan anak kecil. ‘Ubaid pun berseru: “Wahai Izrail, bila engkau tidak mencabut nyawa mereka, niscaya aku akan memecatmu sebagai malaikat,” maka semua sekawanan anak-anak itupun akhirnya mati.

Contoh khurafat lainnya, konon Muhammad bin ‘Ali al-Kitabi (wafat 122 H) mampu mengkhatamkan Al-Qur`an sebanyak 12 ribu kali saat melakukan satu kali thawaf.

Aliran Tasawuf Menghalangi Pernikahan.

Aliran tasawuf melarang seseorang melakukan pernikahan. Padahal pernikahan merupakan fitrah untuk menjadi manusia yang ‘afif dan terhormat. Rasulullah sebagai qudwah, beliau menikah dan memiliki anak. Sedangkan sekte Sufiyah menganggap pernikahan sebagai perbuatan menyimpang dan menjalani hidup dengan main-main.

As-Sirâj ath-Thusi mengatakan: “Ada seorang sufi yang menikahi seorang wanita sudah 30 tahun, akan tetapi istrinya masih tetap perawan”.4

Memiliki Keyakinan Berjumpa dengan Nabi Khidr.

Mereka berkeyakinan bahwa Nabi Khidir masih hidup, berada di tengah manusia dan akan bersama-sama dengan para tokoh Sufi untuk menetapkan perintah ataupun larangan. Banyak hadits yang dinisbatkan kepada Nabi Khidr, akan tetapi dalam penilaian Ibnul-Jauzi, hadits tersebut batil. Keyakinan adanya perjumpaan dengan Nabi Khidr ini menjadi pintu masuk kebohongan-kebohongan yang dikemas kalangan Sufi.5

Dalam masalah hadits-hadits tersebut, Ibnul-Qayyim berkata: “Semua hadits yang memuat kisah Khidr dan keberadaannya adalah dusta. Tidak ada hadits shahih (yang menyatakan) keberadaannya hingga sekarang”.6 Begitu pula pandangan Ibnu Katsir, beliau menilai hadits-hadits tersebut sangat lemah.7 Di antara kisah yang tersebar di kalangan Sufi, bahwa as-Sahrawardi dalam kitabnya, as-Sirrul-Maknun menceritakan jika Nabi Khidr telah menyampaikan kepadanya 300 hadits yang telah ia dengar dari Nabi n .

Pemakaian Kalimat “Kun fa Yakun”.

Terdapat satu kisah yang sangat mustahil. Yaitu menceritakan seorang tokoh Sufi bernama Barakât al-Khayyâth (923 H). Konon, bila ia disuguhi daging kambing, akantetapi yang ia inginkan daging burung dara, maka serta merta daging kambing tersebut berubah menjadi daging burung dara.

Menurut Kalangan Sufi, Para Wali Mengetahui Alam Ghaib.

Anggapan seperti ini bisa dilihat dari pernyataan Ali Harâzim ketika mengomentari syaikhnya, yaitu at-Tijâni. Kata Ali Harâzim: “Dia (at-Tijâni) mengetahui keadaan hati para muridnya, mengetahui kondisi lahir dan batinnya. Bahkan saat kami bersamanya, setiap orang dari kami khawatir jika aib kami disebarluaskan”.9

Pernyataan tersebut tentu sangat mengherankan. Karena Nabi Muhammad sendiri tidak memiliki kekuasaan untuk mengetahui alam gaib. Sebagai contoh, saat ‘Utsmân bin Mazh’un meninggal, beliau bersabda: “Demi Allah, aku berharap kebaikan baginya. Dan aku tidak tahu -demi Allah meskipun aku utusan Allah – apa yang akan terjadi pada diriku kelak”. 10

Khayalan Memiliki Kemampuan Mempersingkat Jarak Tempuh yang Jauh.

Dalam pandangan Sufi, jarak yang jauh bukanlah persoalan. Katanya, bisa ditempuh hanya dalam hitungan detik atau beberapa saat saja. Sebagaimana asy-Sya’rani mengisahkan, ada seorang Syaikh Sufi dari bangsa Kurdi yang tinggal di daerah orang-orang Kurdi selama enam bulan. Lalu, ia kembali ke Mesir. Waktu yang dibutuhkan untuk menempuh jarak dari Kurdi ke Mesir, konon hanya sepanjang shalat Ashar sampai waktu Maghrib saja.

Demikian beberapa paparan khayalan kalangan Sufi. Sedikit kisah-kisah ini mewakili keganjilan yang terdapat dalam buku referensi mereka. Masih banyak cerita serupa yang memenuhi buku-buku, ataupun ingatan para penganutnya. Kita berlindung kepada Allah l dari pemikiran yang demikian. Wallahul-hâdi ilâ shirâthil-mustaqîm.

 

Footnote:


1 Lihat Jawâhirul-Ma’âni (2/153).

2 Lihat Tanwîrul-Malak (2/260).

3 Lihat Risâlah fit-Tahdzîri minal-Bida’, hlm. 18.

4 Lihat al-Luma’, hlm. 264.

5 Lihat al-Maudhu’ât (1/195-197).

6 Lihat al-Manârul-Munîf, hlm. 67.

7 Lihat al-Bidâyah wan-Nihâyah (1/334).

8 Lihat Bahjatul-Asrâr, hlm. 95.

9 Lihat Jawâhirul-Ma’ani, hlm. 63.

10 HR al-Bukhari.

Majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M


Artikel asli: https://majalahassunnah.net/firaq/petikan-khayalan-kaum-sufi/